and last but not least ada dari film yang berjudul "don't hang up"
Agak menggemaskan jika sebuah film memiliki potensi untuk menjadi bagus, atau setidaknya berkesan, tapi gagal untuk mengembangkan potensinya tersebut. Kasus sama layak disematkan kepada Don’t Hang Up, sebuah film thriller-horor karya Alexis Wajsbrot dan Damien Mace.
Don’t Hang Up, sebagaimana beberapa film horor masa kini (Unfriended, Friend Request, Blair Witch), memaparkan karakteristik generasi millennial dengan kegemaran memanfaatkan internet, gadget, dan trend viral sebagai keseharian mereka dan dipadu dengan tema klasik, prank jokes turn deadly. Secara garis besar film berkisah tentang dua remaja, Sam (Gregg Sulkin, Anti-Social) dan Brady (Garret Clayton, King Cobra), yang bersama beberapa teman mereka lainnya gemar melakukan telepon-telepon iseng dan mempublikasikan hasil rekaman keisengan tersebut ke dalam sebuah blog.
Segalanya menyenangkan, sampai suatu malam sesosok misterius mulai meneror Sam dan Brady dengan menggunakan modus operandi sama dengan kejahilan mereka selama ini. Tentu saja mulanya mereka mengira mendapat gangguan orang iseng lain, sampai terbukti jika bukan nyawa mereka saja terancam, namun juga orang-orang yang mereka pedulikan.
Ini merupakan debut dari Wasjbrot, selepas film pendeknya, Red Ballon (2010, juga bersama Mace), serta kinerjanya sebagai pengawas efek khusus atau CGI di beberapa film besar (Doctor Strange, Edge of Tomorrow, Gravity, dan banyak lagi). Dengat latar dan jam terbangnya, jelas jika Washbrot dan Mace memiliki referensi luas, sehingga memanfaatkan hal tersebut dalam Don’t Hang Up.
Hanya saja Don’t Hang Up sepertinya mengalami krisis orisinalitas dan identitas. Visual hiper-kinetis yang jelas-jelas meniru Panic Room, (David Fincher, 2002) di adegan awal, dan beberapa adegan setelahnya, seharusnya bisa menjadi indikasi. Belum lagi pendekatan yang menggabungkan antara home-invasion, mockumentary, slasher bahkan torture-porn ala Saw.
Tidak masalah sebenarnya, karena bagaimanapun bongkar ulang atau “meminjam” formula film lain bukan hal asing untuk sebuah film, terutama horor. Menjadi masalah film terasa sangat mengedepankan teknis dan terlupa rasa.
Elemen-elemen yang menjadi “inspirasi” tadi tidak benar-benar tergali secara efektif, tapi lebih sekedar tempelan sana-sini tanpa perekatan yang utuh. Bahkan pemanfaatan teknologi hanya menjadi gimmick dan mengada-ngada, tanpa memberi kontribusi substantif. Hence, it suffers from some serious plausible issues.
Baik Sulkin dan Clayton bermain dengan cukup baik. Namun, film tidak memberi ruang agar karakter mereka lebh dari arketipe. Mungkin kalau Don’t Hang Up lebih mengedepankan karakter nyata ketimbang klise, film akan memberi impresi lebih mengesankan ketimbang hanya sebagai sosok-sosok yang dengan senang hati disaksikan untuk menderita dan membiarkan kita untuk bersorak dan bersimpati dengan antagonisnya.
Padahal Don’t Hang Up bisa menjadi semacam fabel modern yang provokatif dan menggugah emosi penonton dengan “pesan moralnya”. Sayangnya, meski menghibur, kita hanya peduli pada sajian darah, kekerasan dan shock factor-nya belaka.